Semester baru perkuliahan sudah dimulai sejak tiga hari yang lalu. Dan sudah sejak tiga hari itu pula anggota di kelas perkuliahanku bertambah. Tepat dihari pertama mulai perkuliahan, kelasku kedatangan dua orang mahasiswi pindahan di dalam hari yang sama. Kedua mahasiswi baru itu sangat menarik buatku dan juga anak-anak sekelas. Sejak hari pertama mereka berdua sudah menjadi selebritis kelas. Selalu dikerubungi anak-anak, persis sepertiku. Hanya saja anak-anak mengerubungiku karena urusan perkuliahan dan urusan dosen. Kenapa? Tentu saja karena aku adalah ketua kelas mereka. Kebanyakan anak-anak lebih cenderung mendekati Calista ketimbang Maharani yang sedikit pendiam dan cuek. Tapi aku justru lebih tertarik pada Maharani. Bagiku ia lebih menarik dan istimewa ketimbang Calista yang memang kuakui sangat cantik dan pantas jadi pujaan banyak laki-laki.
“Ran, kau mau kumpulkan tugasnya sekarang?” tanyaku sambil berdiri dihadapannya. Sekilas ia menatapku dan ia pun mengangkat kertas yang dipegangnya.
“Sankyu..” ujarku berterima kasih sambil tersenyum. Ia menatapku.
“Kenapa kau yang berterima kasih?” sahutnya datar. Aku hanya tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya sama sekali tak gatal itu.
“Ah, kenapa ya? Aku juga tak tahu..” ujarku sekenanya. Ia menatapku heran. Aku hanya menggedikkan bahuku kemudian pergi untuk mengumpulkan tugas dari anak-anak yang lain.
“Andre..!!”
Aku pun menoleh pada seseorang yang telah memanggilku sembari menepuk pundakku itu. Kulihat Calista tersenyum padaku sambil memegangi kertas tugasnya.
“Kau mau mengumpulkan tugasnya?” tanyaku. Ia tak menjawab dan hanya tersenyum kecil sambil terus memandangiku.
“Calista?”
“Ah, ini tugasku dan..ini untukmu..dibaca ya..” ujarnya bergegas pergi setelah menyerahkan dua lembar kertas padaku. Aku menatap kepergiannya dengan penuh rasa heran. Kutatap kertas yang kini berada ditanganku itu. Tugas Calista dan..selembar surat?
“Ehm!!!” Leon berdehem sambil meletakan lengannya dipundakku. Aku menoleh.
“Kenapa? Kau sakit tenggorokan?” ujarku yang dengan segera disambut dengan pukulan tangannya yang mendarat di pundakku. Dan aku pun segera meringis kesakitan tentunya.
“Jangan nge-garing deh!!” ujarnya dengan wajah kesal.
“Lantas kenapa?” ujarku sambil menirukan wajah kesalnya. Yang pada akhirnya membuat Leon mencibir padaku.
“Kau ini ga kalah lemot dari si Dede ya... bingung aku..kenapa orang lemot sepertimu dan juga Dede justru bisa terkenal dan disukai cewek-cewek..” gerutunya.
“Memangnya ada apa sih?”
“Kau ini..!! Susah aku ngomong sama kamu!!!” gerutunya lagi sambil pergi meninggalkanku yang berdiri terbengong karena tak mengerti.
“Lama-lama kelakuan Leon makin aneh..” gumamku pelan.
“Tenang, dia cuman lagi sensi..biasa..karena kalah pamor sama kita..” ujar Dede sambil menepuk pundakku.
“Emang siapa lu?” tanyaku ketus. Dede tertawa menyeringai. Ia menepuk pundakku, lagi.
“Orang paling ganteng di kelas D..” ujarnya sambil tertawa. Aku menanggapi perkataannya dengan cibiran.
“Ah, nge-gilanya tar aja..mending kita cepet-cepet ke ruang dosen terus ke kantin. Laper..Ok?!” ujarnya sambil merangkulku dan mengajakku keluar.
“Yang ga waras kan elu..” sahutku sambil mengikuti langkahnya. Ia hanya tertawa kecil.
*
“Kau suka sama Maharani ya, Dre?” tanya Dede saat kita sudah berada di kantin kampus. Hampir saja aku mati tersedak karena pertanyaan dadakan itu.
“Wah, sepertinya pertanyaanku tepat pada sasaran ya?” ujarnya lagi sambil tersenyum kecil. Aku menatapnya dengan pandangan kesal bercampur malu.
“Kau gila ya.. Wah, penyakit ga waras lu benar-benar udah parah ya, De...” ujarku sambil meneguk minumanku.
“Memangnya ada yang salah? Kau cowok dan dia cewek. Kau kan bukan gay.. Normal kan?” sahutnya cuek.
“Normal sih normal...tapi masa baru kenal tiga hari aku sudah nembak dia, yang benar saja?”
“Apa salahnya? Toh, kau benar-benar menyukainya kan?”
“Aku memang suka. Nah, dia-nya?” ujarku beralasan.
“Kan kau bisa tanya. Gampang kan?” timpalnya santai. Benar-benar, pemikiran orang sinting yang satu ini tak bisa diduga dan amat sangat nyantai sekali.
“Gampang kepalamu!!” gerutuku kesal. Aku kembali menyuap makananku. Mencoba tak memperdulikan keberadaannya.
“Tak usah banyak dipikirin..cinta kan buat dirasain bukan buat dipikirin.. Biarkan dia mengalir, ga perlu kau halang-halangi..” ujar Dede sok bijak. Aku diam tak menjawab. Meskipun terkadang dia bertingkah gila dan tak waras, omongannya selalu tepat dan ada benarnya.
“Tak tahulah..lihat nanti saja..aku belum siap untuk itu..” sahutku akhirnya. Dede tampak mengangguk paham. Kami pun segera menghabiskan makan siang tanpa banyak berbicara lagi. Dan segera bergegas kembali ke kelas setelahnya.
*
Suasana lampu yang temaran ditemani dengan alunan musik yang mengalun masuk kedalam telingaku. Aku sedang duduk bersandar diatas tempat tidurku sambil membuka-buka diktat kuliahku, dan tanpa sengaja sehelai kertas terjatuh saat aku akan membalik halaman kertas yang telah kubaca.
“Ah, surat dari Calista.. Aku hampir lupa membacanya..” gumamku sambil mengambil kertas itu dan membacanya. Baru saja kubaca baris pertama dari surat itu, dahiku sudah berkerut bingung dan pikiranku segera melayang entah kemana.
“Ini..”
“...”
“Bagaimana aku harus menyikapi semua ini?” ujarku sambil menghela nafas berat saat telah selesai membaca surat itu.
“Hah..kenapa masalah selalu datang silih berganti kepadaku? Tak bisakah mereka menunggu barang sejenak...?” desisku sambil berbaring dan memejamkan mataku.
“Hatiku belum siap untuk menghadapi semuanya bersamaan...”
*
“Sudah kau putuskan?” tanya Dede saat aku, dia dan juga Leon sudah berada dipojokan perpustakaan.
“Apanya?”
“Perasaanmu.” Sahutnya ringan. Aku menggeleng. Dede mengangguk-angguk paham.
“Kau masih belum bisa melupakan kejadian itu?” ujar Leon pelan sambil menepuk bahuku. Aku tak mampu menjawab dan hanya bisa terdiam dengan kepala tertunduk.
“Ah, sudahlah..lupakan pertanyaanku..” sahut Leon cepat saat ia melihatku terdiam.
“Mana bisa aku bisa dengan cepat melupakan semuanya jika kebodohanku dan perasaanku ini..telah membuat satu nyawa melayang..” ujarku lirih dan hampir tak terdengar. Dede segera menepuk pundakku.
“Sudah kubilang berapa kali padamu..apa aku harus mengatakannya lagi dengan keras ditelingamu biar kau bisa mendengarnya dengan jelas? Semua itu bukan kesalahanmu. Itu kecelakaan.” Ujar Dede tegas. Matanya berkilat tajam menatap lekat wajahku.
“Kau menghiburku? Menghibur orang yang telah membuat adikmu mati?” kataku lirih. Dan secepat kilat, kepalan tinju Dede sudah mendarat tepat dirahangku. Aku meraba sudut bibirku yang basah. Darah segar mengalir dari sudut bibirku yang robek itu.
“De, tahan emosimu!” ujar Leon sambil menepuk pundak Dede yang sedang menatapku dengan pandangan penuh kemarahan.
“Adikku mati tertabrak. Dan itu kecelakaan. Sama sekali bukan kesalahanmu! Berapa kali harus kutegaskan itu semua, hah?!” ujarnya dengan nada meninggi. Orang pendiam yang selalu tersenyum itu kini berkata dengan nada meninggi dan menatapku dengan mata yang berkilat penuh amarah.
“Hei, kau mau kemana?” ujar Leon saat aku berjalan pergi melewati keduanya sembari memegangi sudut bibirku yang masih berdarah.
“Mendinginkan kepalaku..” sahutku sambil bergegas untuk keluar dari ruangan itu.
“Dinginkan kepalamu baik-baik..” ujar Dede datar. Ucapannya membuat langkahku terhenti sejenak. Tanpa menoleh, aku kembali meneruskan langkahku dan keluar dari ruangan itu.
*
“Hhhh..” yang bisa kulakukan dari tadi hingga saat ini hanyalah menghela nafas dalam-dalam dan berat sambil menatap kosong. Duduk termenung di pojokan dekat tangga di lantai dua.
“Ah....” lagi-lagi aku berdesah untuk kesekian puluh kalinya. Ah, kejadian itu sama sekali tak bisa kusingkirkan dari ingatanku. Kejadian terburuk yang terjadi tepat setahun yang lalu. Kejadian yang membuatku sangat terpuruk dan kehilangan semangat hidup, bahkan hingga saat ini. Kejadian yang membuatku takut untuk kembali jatuh cinta.
“Kau kenapa? Dari tadi mendesah terus..” ujar sebuah suara yang membuatku segera tersadar dari dalam lamunan tanpa batas itu. Aku menoleh. Maharani...
“Tak apa..” ujarku sambil berusaha untuk tersenyum. Ia menatap lekat kearahku.
“Bibirmu berdarah. Kenapa? Kau berkelahi?” ujarnya sambil menyentuh sudut bibirku yang berdarah dengan lembut. Sungguh, aku tak tahu keadaan wajahku seperti apa. Yang ku tahu wajahku terasa panas.
“Tak apa. Aku hanya terbentur..” ujarku pelan sambil berusaha menjauhkan tangannya dari wajahku. Maharani menatapku dengan tatapan ragu. Sepertinya ia tahu jika aku telah berbohong padanya. Tapi ia tak berkata apapun.
“Baiklah..aku masih ada urusan. Lain kali kau hati-hati. Dan segera obati lukamu itu, jangan sampai kau mati kehabisan darah hanya karena luka kecil seperti itu..” sahutnya sambil menyerahkan saputangannya padaku.
“Cuci dulu mukamu nanti kalau kau mau masuk kelas..” ujarnya lagi sambil bangkit dan kemudian pergi menuruni tangga.
“Hei...!”
“Sankyu...” ujarku pelan. Ia hanya tersenyum kecil kemudian kembali menuruni tangga hingga akhirnya ia menghilang dari pandanganku.
*
“Dre...” sapa Calista saat kakiku baru saja melangkah memasuki ruangan kelas. Aku menatapnya.
“Kau sudah baca suratku?” ujarnya cepat saat aku hendak berjalan melewatinya. Aku mengangguk pelan.
“Jawabanmu?”
“Maaf...” ujarku pelan. Sekilas wajah Calista terlihat sedih.
“Kenapa?” tanyanya. Aku hanya tersenyum hambar dan segera berlalu dari hadapannya. Aku tahu Calista masih terus menatapku. Tapi aku tak bisa bersikap selain duduk diam dikursiku.
“Dia kenapa?” tanya Leon sambil menyikut lenganku. Aku hanya menatapnya sekilas kemudian kembali diam sambil memandangi diktat kuliahku.
“Ah..lagi-lagi sikap melankolismu keluar..” dengus Leon sambil menghela nafas.
“Biarkan dia sendiri, Le..” timpal Dede yang tanpa kusadari sudah berada dibelakangku.
“Biarkan dia berpikir dengan jernih dulu..” tambahnya. Aku menghela nafas berat. Kubalikkan badanku agar bisa menatap wajah Dede. Kulihat wajahnya terlihat sedikit muram dan sedih.
“Aku..” aku tak bisa meneruskan perkataanku. Kata-kata yang ingin kuutarakan seakan tertahan. Tercekat dikerongkongan.
“Pulang nanti kau ikut ke tempatku..!” ujar Dede lagi sambil menepuk pundakku pelan. Aku hanya bisa mengangguk menjawab ajakannya.
*
Hari telah beranjak sore saat aku tiba ditempat Dede. Entah mengapa aku merasa ragu untuk masuk ke dalam kamarnya.
“Kau kenapa? Masuklah!” ujar Dede sembari masuk. Aku hanya tersenyum kemudian memberanikan diri untuk melangkahkan kakiku masuk.
“Kau tahu kenapa aku mengajakmu kesini?” tanya Dede setelah aku duduk dihadapannya. Aku menggeleng. Dan ia pun menghela nafas dengan berat.
“Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti ini?”
“...”
“Kau mau sampai kapan terus mengurung diri dimasa lalu? Kau mau sampai kapan mengabaikan perasaanmu sendiri?” ujar Dede pelan sembari menatapku. Aku terdiam. Kini sedikit demi sedikit aku mulai mengerti arah pembicaraannya.
“Aku tak bisa melupakannya, De... tak bisa..” sahutku lirih.
“Lalu sampai kapan kau mau seperti ini?”
“Aku tak tahu..”
“Dre..aku tahu kau sangat mencintai adikku.. Tapi ia sudah pergi jauh, Dre.. Kau bahkan tak akan pernah melihatnya kembali..” ujarnya pelan dan lirih.
“Aku tahu.. aku tahu itu...”
“Jika kau tahu, kenapa kau seperti ini, Dre? Kau tak akan bisa memilikinya kembali.. tapi kenapa kau mengikat perasaanmu seolah dia masih ada..?” ujarnya lirih. Nada suaranya yang bergetar membuat aku tahu seperti apa perasaan Dede saat ini.
“Apa karena kau merasa bersalah? Apa rasa bersalahmu padaku dan juga adikku yang membuatmu menelantarkan dan menyakiti perasaanmu sendiri?” sahut Dede sambil menatapku lekat. Aku diam tertunduk.
“Dia sudah mati, Dre.. Rei sudah mati!! Ia tak akan kembali meski kau menyiksa dirimu sendiri hingga mati!!” serunya parau.
“Aku tahu itu.. aku paham..”
“Lalu untuk apa kau terus seperti ini?! Rei pun tak akan senang jika kau seperti ini, Dre..”
“Aku tak bisa..meski aku tahu..tapi aku tak bisa!!” sahutku parau sembari menatap wajah Dede lekat dengan mata berkaca-kaca.
“Kau bisa. Kau bisa berubah..” sahutnya pelan. Ia balik menatapku lekat.
“Aku tahu kau mampu, Dre..”
“...”
“Aku tak bisa..sampai kapanpun dan bagaimanapun..aku tetap tak bisa..”
“Kau bisa.”
“Aku tak mampu..”
“Kau bisa.”
“Aku tak mampu...”
“Andre.. kau bisa. Kau mampu.” Ujar Dede yakin. Aku menggeleng. Sampai kapanpun dan bagaimanapun aku berusaha, aku tetap tak mampu melupakan semuanya. Aku tak bisa melupakan kematian Rei.
Aku tak bisa melupakan dia. Tak bisa melupakan kematiannya. Aku tak pernah bisa melupakan kejadian itu. Tak bisa melupakan wajahnya yang menangis saat aku pergi. Tak bisa melupakan kejadian saat aku, dengan mata kepalaku sendiri, melihat sosoknya yang terjatuh di jalanan beraspal dengan berlumuran darah. Semua karena keegoisanku. Aku tak bisa melupakan dia yang harus mati karena keegoisanku.
“Kau tak akan bisa mengerti perasaanku saat mataku ini melihat tubuhnya tergolek tanpa nyawa penuh dengan lumuran darah.. Kau tak mengerti betapa hancurnya perasaanku melihat dia tersenyum padaku di terakhir kalinya ia menghembuskan nafas..” kataku parau.
“Aku tahu, aku mengerti..”
“Kau tak mengerti.. kau tak mengerti perasaanku yang amat sangat tersiksa karena aku sadar, ia mati karena keegoisanku.. Rei mati karena keegoisanku..”
“Itu semua kecelakaan, Dre..”
“Ia mengejarku yang mengacuhkannya, mengejarku yang membuatnya menangis..dan ia melindungiku, orang yang telah menyakiti perasaannya.. aku yang seharusnya mati!!”
“Andre!!”
“Aku yang harus mati, De..bukan adikmu.. bukan Rei tapi aku..”
“Hentikan...”
“Aku yang seharusnya mati..bukan dia, De..” ujarku parau. Badanku bergetar menahan tangis dan kekesalan yang telah lama kupendam. Meluapkan semua penyesalanku.
“Kubilang hentikan..”
“Harusnya aku...”
“Hentikan kataku!!!” serunya keras. Dengan segera kepalan tangannya kembali mendarat diwajahku dan membuatku jatuh terkulai diatas sofa. Darah segar kembali mengalir. Kini tak lagi hanya dari sudut bibirku tapi juga dari lubang hidungku.
“Hentikan.. Kau tak seharusnya berkata seperti itu..” desisnya pelan. Ia menatapku dengan sendu. Perlahan ia pun mendekat kearahku.
“Kau tak seharusnya berkata seperti itu.. Semua bukan salahmu..”
“Semua salahku, De.. salahku...” sahutku lirih. Aku meraba sudut bibirku yang kembali berdarah. Aku juga merasakan aliran darah yang mengalir pelan dari hidungku.
“Harusnya kau lakukan lebih dari ini.. ini tak cukup untuk membayar kesalahanku atas kematian adikmu..”
“Hentikan!! Cukup!!” seru Dede sambil menampar wajahku. Tamparan dan pukulannya memang sakit. Tapi itu tak sesakit hatiku yang hancur.
“Kumohon hentikan..” desis Dede sembari meraba wajahku. Ia menatap sendu padaku. Pandangan yang membuatku semakin merasa sangat bersalah.
“Hentikan.. Perkataanmu membuat hatiku sakit..” ujarnya sambil memegangi wajahku dengan kedua tangannya. Kini wajahnya tepat berada di depan wajahku dengan jarak hanya beberapa senti.
Lalu, ia pun memelukku erat. Sangat erat hingga aku bisa merasakan getaran badannya dan juga hembusan nafasnya yang berat. Meskipun samar, telingaku bisa mendengar isakan tangisnya. Tangan yang memelukku itu mencengkram bahuku dengan erat.
“Hentikan.. Lupakan.. Kau tak boleh tetap seperti ini, Dre..”
“Meskipun kau membunuhku saat ini.. dosaku tak akan pernah terhapus.. Dosaku pada adikmu..dan juga padamu..”
“Diam!!! Hentikan semua perkataan tak berguna itu!!!!!” seru Dede sembari menguncang bahuku. Aku hanya bisa menatap wajahnya yang penuh berlinang air mata dengan tatapan sendu.
“Aku yang harusnya mati..” ujarku lirih sembari tertunduk memegangi bahunya. Aku tak sempat berpikir apapun ketika dengan cepat Dede menarik tubuhku dengan kasar, mengangkat wajahku dan kemudian.. menciumku dengan penuh emosi.
“...”
“Hentikan..semua yang kau ucapkan membuat hatiku sakit..” ujarnya parau. Bibirnya yang merah terkena darahku itu bergetar. Perlahan ia menghapus tetesan darah yang masih mengalir pelan dari hidung dan sudut bibirku. Untuk beberapa puluh detik lamanya, kepalaku kosong. Aku hanya terdiam sembari menatap wajah Dede dengan tatapan kosong.
“Kau yang seperti ini menyakitiku, Dre.. sikapmu ini menyakiti hatiku.. lebih sakit daripada aku kehilangan Rei dulu..”
“Sahabatku.. bukan.. kau lebih dari itu...kedudukan dirimu dihati dan pikiranku justru lebih tinggi dari Rei..mungkin..justru dirimu yang lebih penting dalam hidupku...” ujar Dede lirih. Kini ia tertunduk didepanku. Sungguh, aku tak mengerti semua yang ia ucapkan. Aku tak mengerti.
“Aku tak mengerti...”
“Aku tak mengerti semua yang kau ucapkan...”
“Aku tak mengerti semuanya...” ujarku pelan. Perlahan, Ia kembali menatap wajahku. Ia tak berbicara sepatah katapun. Hanya diam sambil terus memandangi wajahku.
“Tolong biarkan hatimu bebas...biarkan cinta kembali berlabuh dihatimu...” sahut Dede lirih sembari kembali memelukku. Isak tangisnya kini semakin terdengar.
“Tolong.. dengarkan sekali lagi kata hatimu...”
*
Pagi hari tak terasa sudah kembali datang. Aku pun bangun. Namun, kepalaku yang berdenyut-denyut membuatku mengurungkan niatku dan kembali berbaring sambil memandangi langit-langit. Dan entah sejak kapan, kejadian kemarin kembali terbayang dalam benakku.
“Woi! Bangun pemalas!!” seruan Leon dengan segera membuyarkan lamunanku. Entah sejak kapan makhluk itu telah berada disampingku.
“Kenapa wajahmu pucat? Kau sakit?” ujarnya lagi sembari meraba keningku. Aku hanya menggedikkan bahuku untuk menjawab pertanyaannya. Aku tak tahu. Yang jelas sekarang ini kepalaku kembali berdenyut-denyut serasa mau pecah.
“Suhu badanmu agak lebih tinggi dari biasanya..” gumamnya pelan sambil tetap meraba keningku. Kemudian ia menatapku.
“Kalau kau sedang terbaring lemah seperti ini, kau tampak seperti wanita..rapuh, lemah..dan..‘cantik’...” sahutnya yang segera kusambut dengan cibiran.
“...”
“Hei..”
“Boleh aku menciummu..?” ujar Leon pelan. Perkataan yang sungguh membuatku sangat terkejut.
“Kau gila!! Yang benar saja, Le...” sahutku gelagapan dan dengan wajah yang memerah. Tapi ia malah menatapku lekat sembari perlahan mendekatkan wajahnya.
“Hentikan! Kau sudah gila apa?!!” seruku sembari menahan badannya.
“Kenapa?” tanyanya yang entah harus kukatakan polos atau tidak.
“Aku laki-laki. Dan aku masih normal.”
“Aku juga normal,” sahutnya ringan. Entah hal apa yang kini tengah berada di dalam kepala makhluk bebal yang ada dihadapanku ini.
“Hentikan.. kau jangan gila..”
“Kenapa? Aku juga ingin menciummu...” ujarnya sambil kembali mendekat.
“Le..kumohon..jangan gila..!!”
“Kenapa, sih? Aku hanya ingin menciummu sebentar. Dede boleh melakukannya tapi kenapa aku tidak?” protesnya.
Bak ada petir disiang bolong, aku melongo menatap wajah Leon. Berusaha mengingat sekali lagi apa yang sudah dikatakannya barusan.
“Kau bilang apa barusan?”
“Aku ingin menciummu..”
“Bukan yang itu. Yang terakhir.. Dede apa?”
“Kenapa Dede boleh menciummu dan aku tidak?”
“Kau..kenapa kau tahu..jika..” aku tak bisa meneruskan perkataanku sendiri. Semua kejadian itu kini kembali berputar-putar dalam kepalaku. Membuat kepalaku semakin berdenyut sakit.
“Dede yang bilang. Kemarin katanya dia menciummu..ciuman rasa darah.. Aku juga ingin menciummu tapi aku tak suka darah..” sahut Leon sambil menatapku.
“Ah..aku tak mengerti..kepalaku pusing..” ujarku pelan sembari berbalik menelungkup.
“Ah! Kenapa kau berbalik?! Aku kan belum menciummu!!!” seru Leon cepat sambil menguncang-guncangkan badanku. Aku diam.
“Hei...berbalik, dong...” rajuknya. Aku bisa merasakan wajahnya mendekat. Tapi aku tak mau melakukan keinginannya. Hah..berciuman dengan makhluk tak tau adat ini? Yang benar saja, sampai mati pun aku tak mau. Cukup hanya si makhluk tengil, Dede, yang dengan kurang ajarnya, melakukannya padaku dengan paksa. Aku tak mau bibirku ini diperjakai untuk kedua kalinya oleh laki-laki.
“Diam!! Kepalaku sakit. Jangan berteriak-teriak!!” sahutku ketus sembari mendorong wajahnya agar menjauh.
“Cih!!” dengusnya kesal. Ia pun menghenyakan tubuhnya disebelahku. Aku tahu karena aku bisa merasakannya dan juga mendengar suara hempasan tubuhnya.
“Huh!! Kenapa cuman Dede, sih?!!! Kau pilih kasih!!” cibirnya.
“Berisik!” ujarku ketus.
“Hei...bagaimana dengan dua cewek baru itu?” tukas Leon tiba-tiba. Perkataannya membuatku terhenyak dan menyadari sebuah kenyataan bahwa urusan yang justru sangat penting itu masih belum terselesaikan sama sekali.
“Entahlah..aku tak tahu..” ujarku sambil menatap wajah Leon. Cepat, hanya dalam hitungan detik, bibirnya kini menempel dibibirku. Ah, sialnya diriku, bibirku sudah tercemar dua kali.
“Sinting kau!!” seruku bercampur kaget juga kesal sambil mendorong wajah Leon agar menjauh.
“Hmm..rasanya lumayan..ternyata tak hanya wajahmu yang ‘cantik’, bibirmu juga seperti bibir wanita..” ujarnya sambil tersenyum nakal kearahku. Aku menepuk pipi Leon dengan kesal.
“Aku bukan homo!! Kenapa kau dan juga si tengil Dede berani-beraninya menciumku?!!” teriakku kesal. Leon hanya tertawa mendengar kata-kata yang kuucapkan itu.
“Habis kau ‘cantik’, sih...” sahutnya sembari tertawa senang. Aku mendengus kesal.
“Dasar gila!! Kalian berdua itu sudah tak waras!!!” gerutuku. Leon hanya tersenyum kecil sembari mengacak-acak rambutku-lagi-.
“Tapi yang kutanyakan tadi hal yang waras, lho..” sahutnya sambil menautkan alisnya dan mengerdipkan matanya.
“Hhhh..aku lupa sama sekali tentang mereka..” ujarku jujur. Leon menghela nafas panjang. Ia memainkan rambut poniku kemudian menjentikkan jarinya ke keningku. Rasanya? Tentu saja sakit meski hanya sedikit.
“Sebenarnya kau itu suka pada siapa? Maharani atau Calista?” pertanyaan khas makhluk bebal satu ini. Langsung menohok ke tempat yang tepat.
“Ah...aku bingung jika harus disuruh memilih... Calista, dia baik, dan aku juga sudah tahu perasaannya...tapi..tetap saja aku tak bisa...”
“Hmm..jadi sebenarnya yang kau sukai itu Maharani, ya..” gumamnya pelan. Hhh, perkataannya memang selalu tepat sasaran.
“Iya. Puas?!” sahutku ketus. Leon mengangguk cepat. Huh, sungguh sialnya nasibku. Dikelilingi orang tak waras seperti dirinya dan Dede.
“Kau kan sudah menolak Calista. Lalu tindakanmu selanjutnya pada Maharani?” tanya Leon ringan.
“Hhh..kau ini selalu saja mengganggap semuanya enteng. Tak semudah itu, bodoh...”
“Memang apa susahnya? Tinggal ngomong kan?”
“Membayangkan memang gampang. Prakteknya yang susah.”
“Huh! Kau selalu saja beralasan!” dengusnya kesal. Aku menghela nafas dalam-dalam. Ada satu alasan mengapa aku sulit bertindak. Tapi aku tak bisa mengatakannya padanya.
“Memang apa lagi sih yang mau kau tunggu?”
“Aku...tak bisa mengatakannya padamu..” sahutku ragu. Leon kembali menatapku.
“Kau masih terikat dengan Rei?”
“Itu..sebenarnya aku masih tak bisa melupakan kejadian itu..”
“Tapi itu sudah hampir dua tahun berlalu. Kau tak bisa terus-terusan seperti ini, Dre..”
“Aku masih merasa bersalah pada Dede..”
“Dede kan sudah bilang itu semua bukan kesalahanmu. Itu semua hanya kecelakaan..”
“Justru sikap Dede yang seperti itu yang membuatku susah untuk melupakan semuanya. Ia bahkan tak memarahiku apalagi memukulku. Padahal akulah yang sudah membuatnya kehilangan adiknya satu-satunya..”
“Hhh..sebenarnya ada satu rahasia yang tak diucapkan Dede padamu. Kau tahu arti senyuman Rei di hembusan nafasnya yang terakhir?” ujar Leon pelan sambil menatapku. Aku menggeleng.
“Kau tahu, setelah kau pergi saat itu, saat kau bertengkar hebat dengan Rei.. Dede menemui Rei dan menjelaskan duduk persoalan yang tak akan pernah kau katakan itu.. dan.. satu kata yang membuat Rei dengan segera mengejarmu sembari menangis...”
“Apa yang dia ucapkan?”
“Sampai mati pun jangan pernah kau menyakitinya. Ia sungguh sangat mencintaimu, jika kau siakan dan membuangnya, aku tak akan segan untuk membunuhmu..” sahut Leon pelan. Dengan mata terbelalak aku menatap wajah Leon.
“Aku tak salah dengar?”
“Sama sekali tidak..”
“Kau?! Sejak kapan kau ada disini, De?” ujarku terkejut saat melihat Dede yang berdiri diambang pintu.
“Sebenarnya ia sudah berada disini dari tadi..bersamaku..” sahut Leon pelan.
“Aku ingin dengar yang sejujurnya darimu. Oleh karena itu aku menyuruh Leon masuk lebih dulu..” ujar Dede sambil mendekat.
“Aku tak akan pernah menyalahkanmu, Dre..karena aku tahu semuanya..Aku juga melihat kejadian itu..saat Rei terjatuh kemudian tergeletak tanpa nyawa...tapi tetap, aku tak akan pernah menyalahkanmu..”
“Kenapa?”
“Karena kematian Rei bukanlah kesalahanmu..dan karena kata-kata Rei yang terakhir sebelum ia pergi..Karena kau adalah orang yang sangat berharga baginya..”
“Kenapa..kenapa kau mengatakan semua ini padaku?”
“Rei tak akan membiarkan aku membunuhnya..sebab..ia juga sangat mencintaimu, hidupnya adalah untukmu...kau harus tahu semua itu. Rei tak menginginkanmu terpuruk seperti ini...”
“Kenapa..kenapa kau baru mengatakan semuanya sekarang?!!” seruku keras. Aku menatap wajah Dede dengan penuh emosi. Kenapa ia baru mengatakan semuanya sekarang? Untuk apa?
“Jika kubilang aku melakukannya karena aku marah padamu, bagaimana?” tanya Dede enteng. Lagi-lagi perkataanya membuatku terdiam menatapnya tak percaya.
“Jika kukatakan aku yang selalu diam ini, tak mengatakan semuanya padamu karena aku marah padamu, bagaimana?”
“Aku..tak tahu..” desisku pelan. Sungguh, tiba-tiba saja kepalaku menjadi kosong dan tak bisa memikirkan apapun.
“Jika kukatakan aku melakukannya karena aku marah dan kesal pada semua kelakuanmu, marah padamu yang selalu saja menyalahkan diri sendiri seolah-olah kau yang paling bersalah dan menderita, apa yang akan kau lakukan?” ujar Dede sembari berdiri tepat dihadapanku.
“Aku..tak tahu..sungguh..aku tak tahu...” ujarku yang duduk dengan kepala tertunduk. Kepalaku pusing. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Yang jelas, tubuhku terasa sangat ringan. Ringan dan melayang. Dan entah sejak kapan semuanya menjadi gelap.
*
Samar-samar aku mendengar suara orang yang tengah bercakap-cakap disampingku. Perlahan kubuka mataku. Tapi semuanya masih tampak buram.
“Kau sudah sadar, Dre?” Dari suaranya, itu suara Dede. Tapi aku tetap tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Pandanganku masih kabur. Aku bisa merasakan ada seseorang yang memegang tanganku. Tangan yang sangat lembut. Apa ini tangan Leon? Tapi sejak kapan si anak bebal satu itu punya tangan sehalus ini?
“Syukurlah kau sadar..” ujar Leon yang tepat berdiri disamping Dede. Di sebelah kiriku. Eh? Sebelah kiri? Lalu yang menggenggam tangan kananku siapa? Tangan yang lembut ini punya siapa?
“Kau tak apa-apa, Dre?” tanya Maharani saat aku menoleh hendak melihat siapa orang yang tengah menggenggam tanganku.
“Oh, ternyata Maharani..pantas tangannya lembut sekali..” gumamku dalam hati. Eh? Tadi aku bilang apa? Maharani? Maharani yang... kenapa dia bisa ada disini??
“Ah, Kau..!!” sontak aku terbangun. Namun perkataanku segera terhenti saat kusadari keadaanku saat ini.
“Where’s my clothes..?” tanyaku pelan saat aku lihat diriku yang bertelanjang dada. Sudut mataku dengan cepat dapat melihat segaris lengkung diwajah Leon. Sementara Dede hanya membuang muka tanpa banyak bicara. Dan Maharani..ia tak berani memandangku. Tapi aku tahu wajahnya memerah.
“Ah, kau sudah sadar kan, Dre? Kalau begitu aku pulang dulu, ya..” ujar Maharani pamit.
“Ha? Ah, iya.. terima kasih..” sahutku sambil tersenyum kecil. Maharani membalas senyumku. Kemudian ia pun pergi diiringi suara debam pintu yang ditutup. Dengan segera aku menoleh, memandangi dua makhluk bebal yang tengah duduk disampingku itu.
“Ada yang mau jelaskan padaku kenapa aku bisa setengah telanjang seperti ini?” ujarku sambil memandangi wajah mereka satu persatu. Keduanya langsung membuang muka sambil tertawa terkekeh.
“Kalian berdua tidak tuli kan? Bisa jawab pertanyaanku?” sahutku mulai kesal.
“Ah..itu..aku tak bisa mengatakannya, kau saja, De..” ujar Leon sambil menutupi tawanya.
“Duh..Ah..Itu..” Dede berujar sembari menahan tawa. Aku memandanginya lekat. Aku tahu dibalik muka malaikat yang pendiam dari makhluk di depanku ini, tersimpan banyak ide gila dan rencana-rencana busuk dibaliknya. Karena itu aku yakin, Dede-lah pelakunya.
“Ah..Tadi kan kau pingsan. Dan kau berkeringat banyak sekali..jadi kuputuskan untuk mengganti bajumu..”
“Mengganti bajuku? Tapi aku tak merasakan niat baikmu itu. Kenyataannya bajuku tak diganti dan aku malah setengah telanjang..” sahutku ketus.
“Ah..itu..” Wajah Dede terlihat ragu.
“Itu?”
“....”
“Dede..Ah..melihat tubuhmu.. itu membuat kami terpesona dan pikiran kami menjadi buntu begitu saja..” sahut Leon yang perkataannya itu membuat bulu kudukku meremang.
“Perkataanmu membuatku ingin muntah..” sahutku sambil bergidik.
“Yang dia katakan itu benar..” ujar Dede sambil memandangiku dengan serius.
“Haha..” sahutku tertawa sinis. Dede menatapku lekat, membuat bulu kudukku kembali meremang.
“Hei..sepertinya..aku mulai jatuh cinta padamu..” ujar Dede sambil menatap wajahku.
“Ya,yang benar saja.. Jangan bercanda, ah..” ujarku tergagap. Aku membuang muka saat Dede kembali menatapku.
“Aku serius..” sahut Dede sambil menggenggam tanganku. Dengan cepat aku menarik tanganku.
“Kau membuatku mual..” sahutku.
“Tapi aku sungguh-sungguh..aku..” ujar Dede sembari mendekat. Otomatis aku menjauh darinya. Tapi dia yang terus mendekat membuatku terdesak.
“Oi!!!” seruku cepat sambil menahan tubuh Dede yang semakin mendesakku hingga aku terpaksa berbaring kembali.
“Sepertinya..aku benar-benar jatuh cinta padamu..” ujar Dede sambil mencoba menciumku.
“Ah!!!!!!Tunggu!!!!” seruku cepat sembari mendorong wajahnya agar menjauh dari wajahku.
“Kenapa?” sahutnya dengan polos.
“Kau sudah gila apa?!! Yang benar saja!!! Kau ini..Ah!!!!!!!” seruku keras sambil menutup mulutku dengan tangan. Hampir saja makhluk bebal nan jahil itu kembali akan menodai bibirku.
“Yah!! Please don’t do that to me..” ujarku sembari beringsut menjauh.
“Kenapa? Aku serius, Dre..” sahut Dede sembari terus mendekat. Ia membuatku terpojok dan ingin menangis.
“Kumohon, jangan..” ujarku dengan suara bergetar menahan tangis. Namun Dede yang terus mendekat membuat pikiranku buntu total. Ia terus mendekat dan...
“Kenapa kau menangis?” sahutnya. Aku hanya diam sembari menatapnya lekat.
“...”
“Ah, sudahlah, De..sepertinya kita sudah sedikit keterlaluan..” ujar Leon tiba-tiba sambil menepuk pundak Dede. Mataku kini beralih menatap Leon.
“Maafkan aku..” sahut Dede. Aku benar-benar tak mengerti dengan tingkah mereka berdua. Aku tak mengerti jalan pikiran Dede maupun Leon. Aku tak pernah bisa mengerti keduanya.
“Aku tak mengerti kalian..” Ujarku pelan dengan mata yang basah. Entahlah, aku tak tahu lagi harus bagaimana. Yang pasti air mata ini terlanjur keluar meski aku berusaha keras untuk menahannya.
“Aku tak peduli jika kau akan mengataiku cengeng seperti wanita atau apapun.. Hanya saja, aku tak pernah bisa mengerti kalian..” ujarku dengan suara parau.
“Maaf..” sahut Dede dan Leon lirih.
“Kalian berdua itu keterlaluan!! Kalian berdua..” ujarku geram sambil berurai air mata. Tanganku sudah terkepal dan ingin sekali memukul keduanya namun entah mengapa, aku sama sekali tak bisa melakukannya pada mereka berdua. Yang jelas aku hanya tertunduk sembari menangis.
“Hei..aku minta maaf. Kau jangan menangis lagi..” ujar Dede sambil menepuk pundakku pelan.
“Sudahlah...Kalau kau terus menangis, kami berdua yang repot..” timpal Leon sembari duduk disampingku.
“Peduli amat! Toh kalian sudah jahat padaku..”sahutku ketus.
“Oh, dalam rangka lagi ngambek, nih?” ujar Dede sambil menatapku lekat.
“Kau ini kayak cewek aja, pake acara ngambek segala..” gerutu Leon. Aku hanya mencibir. Dede menghela nafas dalam-dalam.
“Baiklah, kalau kau memang mau ngambek. Aku juga punya cara jitu untuk membuatmu berhenti ngambek.” Sahutnya sambil tersenyum nakal. Aku punya firasat buruk soal ini.
“Kalau kau tak mau berhenti menangis, aku akan menciummu lagi..” ancam Dede. Tawa nakal terlukis diwajahnya.
“Ku patahkan lehermu kalau kau berani melakukannya lagi!!” ujarku geram sembari menghapus air mataku. Entah mengapa, dalam sekejap tangisku hilang.
“Yah, sudahlah... yang penting kau sudah sadar sekarang. Kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan kan?” ujar Dede sembari mengacak-acak rambutku. Aku mengangguk.
“Ah..cepat kau pakai bajumu. Kita harus pergi sekarang,” ujar Dede lagi sambil melemparkan bajuku yang tadi diambilkan Leon itu tepat ke wajahku.
“Memangnya kita mau kemana?” ujarku sembari mengenakan pakaianku. Aku pun bangkit dari tempat tidurku. Untuk sesaat badanku terasa ngilu.
“Sudahlah. Kau tak usah banyak cakap. Nanti juga kau akan tahu kemana..” sahut Leon. Aku mendengus kesal.
“Baiklah..Terserah, mau pergi kemanapun..” sahutku ketus.
*
Semilir angin sore bertiup diantara rambutku. Aku, Dede, dan Leon berjalan beriringan sembari bercanda. Sepertinya aku mulai dapat menebak tempat yang akan kami tuju nanti. Ada sedikit rasa berbeda yang sudah lama tak kurasakan terbersit dalam hatiku. Aku pun terus tersenyum saat berbicara dengan mereka berdua. Meski terkadang aku sering diam, rangkulan keduanya membuat diriku terus tersenyum. Aku merasa diriku perlahan berubah. Perasaan itu terus bercampur baur di dalam benakku hingga aku pun tersadar pada sebuah kenangan pahit yang hendak kembali berulang di depan mataku.
“AWAAAS!!!” seruku tanpa sadar sembari menarik Dede sehingga ia kini berada di tempatku berjalan tadi dan aku berada di tempat sebelumnya ia berjalan. Aku mendorong keduanya menjauh.
Aku melihat keduanya jatuh terjerembab lalu mereka berdua menatapku dengan mata yang membulat kaget. Aku pun melihat keduanya segera bangkit hendak menghampiriku. Dede mengulurkan tangannya hendak meraihku. Aku melihat semuanya dengan jelas. Melihat Leon yang berteriak padaku. Namun entah mengapa aku tak bisa mendengar teriakannya. Aku pun melihat Dede yang menangis sembari berurai air mata mengulurkan tangannya hendak meraihku. Aku mengulurkan tanganku, namun yang bisa kurasakan hanyalah hembusan angin dan rasa sakit yang amat sangat yang membuat badanku terhempas. Badanku terasa teramat sangat ringan, ditengah rasa sakit yang berbaur dengan hempasan angin di tubuhku, aku melihat Dede yang terduduk lemah sembari berurai air mata sementara Leon dengan langkah gontai mendekat padaku.
“Aku sangat bahagia..terima kasih..” desisku pelan. Air mata mengalir semakin deras membasahi wajah keduanya.
Tubuhku semakin ringan. Rasa sakit pun perlahan menghilang meninggalkan hembusan angin dingin menerpa tubuhku yang tergolek kaku. Perlahan suara keduanya sayup-sayup terdengar. Mataku semakin terasa berat. Hingga suara keduanya sayup-sayup menghilang, aku pun menutup mataku.
“ANDRE!!!!!!!!”
-eNd-
No comments:
Post a Comment